Kamis, 02 Januari 2014

Peran Kaum Intelektual Di masa Kontemporer



Pada tahun 1998, mahasiswa menjadi salah satu pelopor revolusi di Indonesia yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter Presiden kedua setelah Bung Karno, yaitu Soeharto. Gerakan mahasiswa pada saat itu didasari oleh peran atau fungsi mahasiswa itu sendiri. Dalam eksistensinya mahasiswa mempunyai tiga fungsi yang harus diemban, yaitu Agen of Change, Social Control, dan Man of Analisis. Dan pada dasarnya seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menekuni perkuliahan saja, namun juga seorang mahasiswa harus bertanggung jawab terhadap terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Perjuangan mahasiswa pada masa itu menuai banyak kesan tertentu bagi darah juang masa kini. Kegigihan dalam menghadapi permasalahan di Negara ini dan kekuatan yang ditunjukkan para mahasiswa merupakan suatu bentuk peran mereka. Dalam memecahkan permasalahan/konflik tidak hanya dengan otot atau dengan mengangkat senjata namun juga harus menggunakan akal sehat, ini diperlihatkan oleh mahasiswa pada masa itu. Bahwasanya ada banyak cara dan pasti ada jalan keluar/solusi dari setiap permasalahan yang terjadi khususnya masalah yang terjadi di Negara ini.
 Melawan rezim pemerintah yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarakat mempunyai nilai juang tertentu bagi mahasiswa pada era itu. Melawan bukan berarti bentrokan atau saling adu jotos  dengan aparat keamanan. Itulah komitmen mahasiswa dalam bersuara dan menyampaikan aspirasi. Akan tetapi terkadang ada juga yang melakukan tindakan anarkis, namun hal itu tidak lepas dari yang namanya provokator (orang yang memancing emosi masa/demonstran).
Banyak mahasiswa yang mejadikan tragedi pada tahun 1998 sebagai pemicu semangat untuk mengimplementasikan peran dan fungsi mereka sebagai kaum intelektual. Terbukti setelah masa orde baru berakhir, mahasiswa hingga kini semakin marak melakukan aksi menuntut kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau menanggapi fenomena ekonomi, politik dan sosial yang terjadi di Negara ini.
Namun, dengan bertambahnya tahun, mahasiswa semakin lupa diri. Nama “mahasiswa” hanya dijadikan sebagai status akademik belaka. Ironisnya, mahasiswa sekarang ini ada yang tidak mengerti atau tidak paham akan fungsinya. Bahkan ada pula mahasiswa yang tidak tahu tentang tri fungsi mahasiswa dan tri dharma perguruan tinggi. Sangat dimungkinkan apabila tahun-tahun ke depannya sosok seorang mahasiswa tidak lagi mempunyai taring untuk menjadi kontrol masyarakat dan sebagai penengah antara pemerintah dengan rakyat. Mahasiswa pada nantinya tidak akan ada bedanya dengan para pelajar-pelajar di bawahnya. Saat ini pun sudah ada beberapa mahasiswa di sebagian perguruan tinggi yang sudah tidak menunjukkan perilaku yang baik bagi generasi selanjutnya. Bahkan ada pula yang melakukan tindakan anarkis berupa tawuran antar mahasiswa. “Rugi” dan “tidak pantas” adalah kata yang cocok untuk mahasiswa yang seperti demikian.
Jika dihubungkan dengan pemuda, seorang mahasiswa juga termasuk di dalamnya. Kembali lagi pada peran muda-mudi itu sendiri, bahwasanya pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan. Sedangkan seorang pemimpin harus bisa mempersuasi (mempengaruhi) orang-orang yang dipimpinnya. Mempengaruhi di sini bukan dalam artian yang negatif, namun esensi dari mempengaruhi ini ialah mutu dari seorang pemimpin tersebut. Bisa dikatakan kalau mahasiswa kinilah calon-calon pemimpin di masa yang akan datang.
Seringkali muncul pertanyaan mengapa aktivitas dan peran mahasiswa banyak sekali yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Ialah karena pada hakikatnya seorang mahasiswa nantinya akan terjun dan kembali lagi menjadi bagian dari masyarakat. Maka dari itulah mengapa dari setiap perguruan tinggi mengarahkan anak didiknya dan memprogramkan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Setelah mahasiswa mempunyai dasar dan pengetahuan dalam berkehidupan sosial, dapat dipastikan bahwa ia siap untuk kembali dan membaur dengan masyarakat di sekitarnya. Di masyarakatlah gelar sarjana mereka akan diuji baik dari segi ilmu pengetahuan, mental dan kematangannya sebagai orang yang berpendidikan tinggi.
Dibandingkan dengan zaman dahulu, pada saat Indonesia baru merdeka. Sedikit sekali orang yang mampu melanjutkan studinya ketingkatan yang lebih tinggi dengan berbagai faktor penyebab. Rasa nasionalisme pemuda zaman dahulu sangatlah kental sekali untuk menjunjung tinggi dan memperjuangkan nama bangsa. Sekolah rakyat menjadi tumpuan bagi pemuda di kala itu. Meskipun hanya mengenyam pendidikan di sekolah rakyat, banyak kemudian yang bisa mengembangkan ilmunya dan mencapai kesuksesan dan ikut mengharumkan nama bangsa. Beda lagi di zaman sekarang. Saat ini sudah banyak pendidikan-pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga perguruan-perguruan tinggi, sehingga para anak didik mampu mengeksplorasikan keinginan minat dan bakat mereka. Hal ini tentunya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini ketika melihat perkembangan pendidikan di Negara tercinta.
Disamping kebahagiaan bangsa ini dengan adanya pendidikan yang sudah berkembang dan melahirkan orang-orang yang terdidik, ada masalah besar yang harus diharus dihadapi oleh pemerintah. Pada realitasnya saat ini, dengan bertambahnya putra-putri bangsa yang berpendidikan, angka pengangguran di Indonesia malah semakin bertambah pula. Minimnya lapangan pekerjaan menjadi faktor utama dari permasalahan ini. Padahal kita lihat banyak sekali potensi usaha yang bisa dilakukan dengan tanpa harus selalu tergantung kepada orang lain. Ini juga merupakan satu alasan mengapa seorang mahasiswa dituntut untuk bisa kreatif, agar kelak setelah menjadi masyarakat dengan gelar pendidikan yang tinggi tidak hanya mencari dan sekedar menikmati dari adanya lapangan pekerjaan saja. Melainkan juga diharapkan mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang lain.

Oleh: Badri Stiawan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UTM
Sekaligus Kader HMI Komisariat ISIB
Cabang Bangkalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar