Kamis, 02 Januari 2014

Kisah Asalu-Usul Asta Gurang Garing di Sumenep





Asta Gurang Garing merupakan salah satu tempat wisata religi yang kisah dari masyarakat setempat adalah makam dari Kyai Syeikh  Mahfudz. Jarak tempuh ke tempat ini yang cukup jauh tidak mengurangi niat orang yang ingin ziarah ketempat ini. Tiap hari puluhan, bahkan hari-hari tertentu jumlahnya mengalami lonjakan yang datang ke makam ini.
Asta Gurang Garing letaknya cukup jauh dari daerah Sumenep kota, yaitu sekitar ±34 km atau sekitar 1 jam perjalanan. Tepatnya di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep.  Bagi para peziarah dari Pulau Jawa yang hendak ke pulau Madura bisa dengan menempuh jalur laut dari pelabuhan Perak menuju pelabuhan Kamal. Namun juga bisa dengan cara memanfaatkan jasa penyeberangan jembatan Suramadu.
Madura lebih dikenal dengan sebutan Pulau Garam, karena Madura merupakan salah satu pulau yang banyak menghasilkan garam berkualitas. Carok dan kerapan sapi juga merupakan identitas dari pulau Madura. Madura memiliki empat kabupaten/kota, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sumenep jika dalam bahasa Madura disebut Songènèb. Songènèb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang jika diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut : Kata “Sung” mempunyai arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan kata “ènèb” yang berarti endapan yang tenang, maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti "lembah/cekungan yang tenang".
Predikat santri sepertinya memang layak dinisbatkan kepada masyarakat Madura. Karena kepatuhan masyarakatnya akan sosok pemuka Agama atau kyai ternyata tidak hanya dilakukan saat kyai tersebut masih ada dikehidupan sosial mereka. Namun juga ketika sudah wafatpun sosok seorang kiyai tetap mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari para santri atau masyarakat disekitarnya. Masyarakat Madura yang mayoritas beragama Islam ini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak pemuka Agama dari dalam hingga luar Madura yang mengabdikan dirinya  untuk tetap menjunjung tinggi Agama Allah di pulau ini. Tradisi masyarakat Madura diwaktu-waktu tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri adalah dengan berkunjung (ziarah) ke makam para Ulama’ atau Kiyai dengan mengharap doa barokahnya. Diketahui bahwa pada hakikatnya ruh dari manusia itu tidak pernah mati. Sehingga masyarakat percaya bahwa dengan datang dan mengirimkan do’a di makam yang diyakini keramat akan mendapatkan balasan do’a pula dari para muslim yang telah lebih dulu meninggalkan kehidupan dunia. Makam kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang di percaya sebagai tempat paling tepat untuk berdoa kepada Tuhan dengant tujuan tertentu di samping juga mendoakan arwah kyai tersebut.
Menurut sejarah masyarakat setempat, asta Gurang Garing ini lebih dikenal dengan sebutan asta Syayid Yahya dan sudah dilegendakan. Akan tetapi  cucu dari Sayyid Yahya sendiri menyebutnya dengan julukan Syeikh Mahfudz. Di daerah Gapura Timur, Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep adalah tempat dimana Syeikh Mahfudz membagi ilmunya. Pada saat ia sedang mengajar, beliau mendapat panggilan dari raja pertama Sumenep yaitu Pangeran Arya Wiraraja. Arya Wiraraja dilantik pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin olehnya banyak kemajuan yang terjadi di kerajaan Sumenep. pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dibidang ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah.
Tujuan dari Arya Wiraraja memanggil Syeikh Mahfudz ialah untuk memerintahkan beliau untuk menjadi seorang hakim di kerajaan, tetapi beliau tidak dapat memberikan jawaban secara langsung  dan meminta waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan titah dari raja tersebut. Selama waktu yang diberikan oleh raja dipergunakan beliau untuk berfikir dan meminta petunjuk kepada Allah. Yang menjadi pertimbangan bagi Syeikh Mahfudz ialah bahwa ketika beliau memutuskan menerima perintah dari sang raja, secara tidak langsung beliau akan menetap di kerajaan. Sedangkan beliau sendiri masih mempunyai tanggung jawab yang besar, yaitu mengajar para santrinya.
Dua hari kemudian Syeikh Mahfudz datang kembali ke kerajaan untuk memberikan jawaban kepada sang Raja dan berkata, “Maafkan hamba Gusti! Hamba tidak dapat memenuhi perintah raja untuk menjadi hakim. Karena hamba takut terikat dan membebankan bagi hamba dengan harus menjadi seorang hakim. Selain itu, hamba mempunyai tanggung jawab atas pondok  pesantren yang hamba dirikan dan santri-santri hamba. Hamba pun sangat sayang dengan santri-santri dan tidak tega untuk menginggalkan mereka. Sehingga berat rasanya untuk menerima tugas yang Gusti berikan pada hamba”. Mendengar pernyataan dari Syeih Mahfudz, raja tersebut sangat marah. Karena menolak perintah yang diberikan, akhirnya Syeikh Mahfud mendapatkan hukuman dari raja, yaitu diperitahkan untuk mengisi gentong air raksasa, tepatnya di halaman belakang kerajaan. Gentong itu besar dan kering yang tidak ada airnya sama sekali. Dari cerita turun-temurun menyatakan bahwa kata “besar” itu disebut dengan Gorang dan kata “kering” itu adalah Garing.
Oleh karna itulah, alasan orang banyak menyebutnya dengan istilah Gurang Garing yang berarti gentong raksasa yang kering. Akan tetapi Syeih Mahfudz kaget karena tidak ada air pada waktu itu untuk mengisi gentong raksasa tersebut. Sedangkan sungai yang ada di sekitar kerajaan tersebut pun masih dalam kondisi mengering. Salah satu faktor sulitnya air pada saat itu ialah dikarenakan hujan yang tak kunjung datang. Akhirnya Syeikh Mahfudz bermunajat kepada Allah SWT, dan dilanjutkan dengan melakukan shalat sunah 2 rakaat.  Dengan kuasa Allah kemudian awan mendung datang tiba-tiba dan berbentuk seperti nampan.  Setelah itu dengan derasnya air hujan tersebut mampu mengisi gentong air yang besar, hingga akhirnya gentong tersebut terisi dengan penuh. Namun Syeikh Mahfudz tetap membiarkan air di dalam gentong itu meluap, dan akhirnya air itu meluas sampai kehalaman kerajaan. Orang-orang yang ada di kerajaan pada waktu itu sangat kebingungan karena ada air yang mengalir di halaman kerajaan.
Ada salah satu dari patih yang melapor kepada raja bahwa halaman kerajaan di penuhi dengan air, dan raja pun sungguh terkejut setelah mengetahuinya. Raja terkejut karena sungai yang kering pada awalnya tiba-tiba sudah teraliri oleh air. Keterkejutan sang raja bertambah karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan. Arya Wiraraja kemudian berkata kepada sang Patih, “Hei Patih! air ini dari mana datangnya? coba kamu periksa..!!”. mendengar perintah dari raja, sang patih pun langsung bergegas mencari asal-usul datangnya air tersebut. Patih sendiri heran dengan kejadian itu, tiada hujan tapi ada banyak air di sekitar kerajaan.
Sewaktu dalam perjalanan patih bertemu dengan kiyai. Kemudian Patih bertanya, ”Pak kyai dari mana datangnya air ini? Padahal di daerah sekitar kerajaan kering tidak ada air dan jarang ada turunnya hujan?”. Sambil bertanya sang Patih menatap ke atas dan melihat adanya awan mendung di atas gentong raksasa itu. Keheranan sang Patih bertambah ketika disekitar gentong tersebut sama sekali tidak ada hujan.  ”Hujan itu datang karena rahmat Allh SWT sehingga gentong yang besar ini dapat terisi penuh”.  jawab Pak kiyai. “Tapi pak Kiyai, air ini mengalir sampai ke halaman kerajaan dan harus segera di berhentikan!” bantah sang patih. Kemudian kyai bermunajat kembali kepada Allah dan akhirnya hujan itu secara tiba-tiba berhenti dengan sendirinya. Setelah itu kiyai menghadap kepada sang raja untuk meminta maaf karena sudah membuat resah seluruh penghuni kerajaan. Kiyai menceritakan semua yang terjadi kepada raja. Sehingga raja mengatakan dan menyebutkan bahwa kyai itu adalah “Lambi Cabih” yang artinya bibir pedas. Maksudnya dari kata “bibir pedas” itu adalah bahwa do’anya dari Syeih Mahfudz ini mustajab atau cepat terkabul.
Selang kemudian Kiyai pun kembali pulang ke kampung halamannya. Masyarakat pun mendengar tentang apa yang telah terjadi di kerajaan bahwa do’a Syeih Mahfudz mustajab (manjur) dan dijuluki kiayi Lambi Cabih oleh raja Sumenep. Karena sebelumnya desa yang ditempati oleh Syeih Mahfudz tersebut belum mempunyai nama, maka akhirnya kampung tersebut diberi nama kampung Lambi Cabih oleh kiyai tepatnya di daerah Gapura Timur Kecamatan Batang-Batang Kabupaten  Sumenep. Di sana juga banyak didirikan pondok-pondok pesantren.
Sebelum adanya Asta Gurang Garing, dulu ada pelabuhan besar dan penuh dengan rumah-rumah masyarakat. Pada saat itu rencananya kota Sumenep akan dipindahkan ke daerah Lombang, akan tetapi hal itu tidak dapat terealisasikan karena ada salah satu santri yang mengadu pada Syeikh  Mahfudz bahwa di desanya banyak masyarakat yang melakukan hal ke maksiatan seperti minum-minuman keras, perzinahan, judi dan sebagainya. Ironisnya, beberapa dari santri Syeikh Mahfudz ikut terpengaruh untuk melakukan hal haram yang di larang Allah tersebut. Syeikh mahfudz kecewa ketika melihat kelakuan santri dan masyarakatnya yang berperilaku hidup tidak baik. Beliau merasa telah gagal membina dan mendidik orang-orang di desanya.
Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk pergi ke suatu pemukiman di desa Lombang. Beliau memulai harinya di desa itu dengan berdakwah tentang ajaran Islam. akan tetapi dakwah yang dilakukan beliau tidak di terima dengan baik oleh masyarakat di permukiman tersebut. Masyarakat mengancam, jika beliau masih tetap berdakwah maka beliau akan di usir dengan cara seperti binatang (tidak terhormat). Beliau hanya pasrah menghadapi semua cobaan itu dan tetap bertawakal kepada Allah. Beliau percaya bahwa Allah akan menolong beliau keluar dari semua cobaan yang terjadi. Syeikh Mahfud kemudian bermimpi bahwa di dalam mimpinya tersebut beliau diberi karunia ilmu kebatinan dan beliau diperintahkan untuk tidak melakukan shalat wajib 5 waktu, dengan catatan beliau harus tetap selalu ingat kepada Allah SWT.
Mimpi itu pun beliau lakukan dan meninggalkan shalat 5 waktu yang telah diperintahkan. Beberapa hari kemudian masyarakat pun mengetahui bahwa Syeih Mahfudz tidak melaksanakan shalat wajib. Melihat hal tersebut masyarakat juga tidak melaksanakan shalat wajib dan meminta kepada Syeikh Mahfudz agar mereka juga diberikan ilmu kebatinan seperti yang telah ia dapatkan. Mengetahui kondisi masyarakat yang demikian beliau sangat marah. Setelah diberikan penjelasan panjang lebar, masyarakatnya tetap tidak mau melaksanakan shalat dan tetap menginginkan ilmu kebatinan supaya tidak perlu shalaat lagi.
Melihat masyarakatnya yang keras kepala kemudian beliau berdoa, meminta kepada Allah untuk di datangkannya balak yang sangat besar bagi semua masyarakat yang menentangnya. Allah pun mengabulkan do’a dari Syeikh Mahfudz. Akhirnya, penyakit mutaber lah yang tiba-tiba melanda masyarakat. Penyakit tersebut menewaskan dua puluh orang yang meninggal dalam setiap harinya. Pada zaman dahulu tidak ada fasilitas dokter atau obat yang dapat menyembuhkan penyakit mutaber tersebut. Sehingga penyakit tersebut mudah meular. Tanah yang luasnya 1000 M hanya di buat untuk mengkubur orang-orang yang meninggal. Banyaknya orang yang meninggal setiap harinya membuat masyarakat merasa lelah untuk membuat lubang kuburan. Hingga terkadang dalam satu lubang mereka isi dengan 5 mayat.
Sampai pada akhir hayat Syeikh Mahfudz, penyakit tersebut tetap melanda. Menurut kisah, lebih banyak orang mukmin yang meninggal dunia dari pada orang yang mungkar kepada Allah. Di suatu saat ada seseorang yang bermimpi bahwasanya di dalam mimpi tersebut menyatakan bahwa setiap ada orang yang meninggal haruslah dikubur dengan cara dalam satu lubang harus di isi dua mayat. Dan itu pun harus posisi dari mayat tersebut harus di bolak-balik. Dalam artian, kepala yang satu mengarah ke utara dan juga ada yang yang mengarah ke selatan. Tetapi itu semua sudah terlambat karena semua masyarakat yang ada di desa tersebut meninggal semua. Kini kuburan-kuburan itu telah ditanami pohon dan tumbuhan sejenisnya oleh masyarakat setempat.
Pada intinya istilah lambi cabih itu ada dikarenakan julukan sang raja untuk Syeikh Mahfudz yang dianggap mustajab dalam hal perkataan. Sedangkan istilah Gorang Garing itu sendiri ialah sebutan dari gentong raksasa yang ada di halaman belakang kerajaan Sumenep di masa lalu. Asta Gorang Garing sendiri ialah makam dari Syeikh Mahfudz. Itulah kisah asal-usul dinamakannya desa Lambi Cabih dan Asta Gurang Garing yang ada di daerah Gapura Timur Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep Madura.

Oleh: Eva Susanti
Mahasiswi Jurusan Sastra Inggris, UTM

Peran Kaum Intelektual Di masa Kontemporer



Pada tahun 1998, mahasiswa menjadi salah satu pelopor revolusi di Indonesia yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter Presiden kedua setelah Bung Karno, yaitu Soeharto. Gerakan mahasiswa pada saat itu didasari oleh peran atau fungsi mahasiswa itu sendiri. Dalam eksistensinya mahasiswa mempunyai tiga fungsi yang harus diemban, yaitu Agen of Change, Social Control, dan Man of Analisis. Dan pada dasarnya seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menekuni perkuliahan saja, namun juga seorang mahasiswa harus bertanggung jawab terhadap terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Perjuangan mahasiswa pada masa itu menuai banyak kesan tertentu bagi darah juang masa kini. Kegigihan dalam menghadapi permasalahan di Negara ini dan kekuatan yang ditunjukkan para mahasiswa merupakan suatu bentuk peran mereka. Dalam memecahkan permasalahan/konflik tidak hanya dengan otot atau dengan mengangkat senjata namun juga harus menggunakan akal sehat, ini diperlihatkan oleh mahasiswa pada masa itu. Bahwasanya ada banyak cara dan pasti ada jalan keluar/solusi dari setiap permasalahan yang terjadi khususnya masalah yang terjadi di Negara ini.
 Melawan rezim pemerintah yang tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh masyarakat mempunyai nilai juang tertentu bagi mahasiswa pada era itu. Melawan bukan berarti bentrokan atau saling adu jotos  dengan aparat keamanan. Itulah komitmen mahasiswa dalam bersuara dan menyampaikan aspirasi. Akan tetapi terkadang ada juga yang melakukan tindakan anarkis, namun hal itu tidak lepas dari yang namanya provokator (orang yang memancing emosi masa/demonstran).
Banyak mahasiswa yang mejadikan tragedi pada tahun 1998 sebagai pemicu semangat untuk mengimplementasikan peran dan fungsi mereka sebagai kaum intelektual. Terbukti setelah masa orde baru berakhir, mahasiswa hingga kini semakin marak melakukan aksi menuntut kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau menanggapi fenomena ekonomi, politik dan sosial yang terjadi di Negara ini.
Namun, dengan bertambahnya tahun, mahasiswa semakin lupa diri. Nama “mahasiswa” hanya dijadikan sebagai status akademik belaka. Ironisnya, mahasiswa sekarang ini ada yang tidak mengerti atau tidak paham akan fungsinya. Bahkan ada pula mahasiswa yang tidak tahu tentang tri fungsi mahasiswa dan tri dharma perguruan tinggi. Sangat dimungkinkan apabila tahun-tahun ke depannya sosok seorang mahasiswa tidak lagi mempunyai taring untuk menjadi kontrol masyarakat dan sebagai penengah antara pemerintah dengan rakyat. Mahasiswa pada nantinya tidak akan ada bedanya dengan para pelajar-pelajar di bawahnya. Saat ini pun sudah ada beberapa mahasiswa di sebagian perguruan tinggi yang sudah tidak menunjukkan perilaku yang baik bagi generasi selanjutnya. Bahkan ada pula yang melakukan tindakan anarkis berupa tawuran antar mahasiswa. “Rugi” dan “tidak pantas” adalah kata yang cocok untuk mahasiswa yang seperti demikian.
Jika dihubungkan dengan pemuda, seorang mahasiswa juga termasuk di dalamnya. Kembali lagi pada peran muda-mudi itu sendiri, bahwasanya pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan. Sedangkan seorang pemimpin harus bisa mempersuasi (mempengaruhi) orang-orang yang dipimpinnya. Mempengaruhi di sini bukan dalam artian yang negatif, namun esensi dari mempengaruhi ini ialah mutu dari seorang pemimpin tersebut. Bisa dikatakan kalau mahasiswa kinilah calon-calon pemimpin di masa yang akan datang.
Seringkali muncul pertanyaan mengapa aktivitas dan peran mahasiswa banyak sekali yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Ialah karena pada hakikatnya seorang mahasiswa nantinya akan terjun dan kembali lagi menjadi bagian dari masyarakat. Maka dari itulah mengapa dari setiap perguruan tinggi mengarahkan anak didiknya dan memprogramkan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Setelah mahasiswa mempunyai dasar dan pengetahuan dalam berkehidupan sosial, dapat dipastikan bahwa ia siap untuk kembali dan membaur dengan masyarakat di sekitarnya. Di masyarakatlah gelar sarjana mereka akan diuji baik dari segi ilmu pengetahuan, mental dan kematangannya sebagai orang yang berpendidikan tinggi.
Dibandingkan dengan zaman dahulu, pada saat Indonesia baru merdeka. Sedikit sekali orang yang mampu melanjutkan studinya ketingkatan yang lebih tinggi dengan berbagai faktor penyebab. Rasa nasionalisme pemuda zaman dahulu sangatlah kental sekali untuk menjunjung tinggi dan memperjuangkan nama bangsa. Sekolah rakyat menjadi tumpuan bagi pemuda di kala itu. Meskipun hanya mengenyam pendidikan di sekolah rakyat, banyak kemudian yang bisa mengembangkan ilmunya dan mencapai kesuksesan dan ikut mengharumkan nama bangsa. Beda lagi di zaman sekarang. Saat ini sudah banyak pendidikan-pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga perguruan-perguruan tinggi, sehingga para anak didik mampu mengeksplorasikan keinginan minat dan bakat mereka. Hal ini tentunya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa ini ketika melihat perkembangan pendidikan di Negara tercinta.
Disamping kebahagiaan bangsa ini dengan adanya pendidikan yang sudah berkembang dan melahirkan orang-orang yang terdidik, ada masalah besar yang harus diharus dihadapi oleh pemerintah. Pada realitasnya saat ini, dengan bertambahnya putra-putri bangsa yang berpendidikan, angka pengangguran di Indonesia malah semakin bertambah pula. Minimnya lapangan pekerjaan menjadi faktor utama dari permasalahan ini. Padahal kita lihat banyak sekali potensi usaha yang bisa dilakukan dengan tanpa harus selalu tergantung kepada orang lain. Ini juga merupakan satu alasan mengapa seorang mahasiswa dituntut untuk bisa kreatif, agar kelak setelah menjadi masyarakat dengan gelar pendidikan yang tinggi tidak hanya mencari dan sekedar menikmati dari adanya lapangan pekerjaan saja. Melainkan juga diharapkan mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang lain.

Oleh: Badri Stiawan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UTM
Sekaligus Kader HMI Komisariat ISIB
Cabang Bangkalan