Selasa, 03 Juli 2012

SEJARAH HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM






ARTI SEJARAH

Dari sekian banyak arti dan definisi sejarah, secara umum dapat diartikan bahwa sejarah adalah pelajaran dan pengetahuan tentang perjalanan masa lampau ummat manusia, mengenai apa yang dikerjakan, dikatakan dan dipikirkan oleh manusia pada masa lampau, untuk menjadi cerminan dan pedoman berupa pelajaran, peringatan, kebenaran bagi masa kini dan mendatang untuk mengukuhkan hati manusia.

 


LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI


Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah berdirinya HMI.

Situasi Dunia Internasional

Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula kemunduran menghinggapi kita.
Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al Qur'an dan Hadist Rassullulah SAW.
Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah Badawi Ath Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787), Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898), Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain

Situasi NKRI

Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :
•  Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.
•  Missi dan Zending agama Kristiani.
•  Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.
Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.

Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia

Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.

Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan

Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sisitem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan agama disetiap aspek kehidupan manusia". Kedua : adanya Perserikatan MAHASISWA Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.


 

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN


Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.
 Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”

Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut :
1.       Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan
Ø        Aspek Politik                                   :   Indonesia menjadi objek jajahan Belanda
Ø        Aspek Pemerintahan                      :   Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda
Ø        Aspek Hukum                                  :   Hukum berlaku diskriminatif
Ø        Aspek pendidikan                           :   Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda.
-    Ordonansi guru
-    Ordonansi sekolah liar
Ø        Aspek ekonomi                                :   Bangsa Indonesia berada dalam kondisi ekonomi lemah
Ø        Aspek kebudayaan                         :   masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
Ø        Aspek Hubungan keagamaan         :   Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2.       Adanya Kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam
3.       Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan
4.       Munculnya polarisasi politik
5.       Berkembangnya fajam dan Ajaran komunis
6.       Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7.       Kemajemukan Bangsa Indonesia
8.       tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan

Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947

Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan"
Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan pihak luar.
 Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1.       Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2.       Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
 Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
1.       Lafran Pane (Yogya),
2.       Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
3.       Dahlan Husein (Palembang),
4.       Siti Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang)
5.       Maisaroh Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura),
6.       Soewali (Jember),
7.       Yusdi Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang),
8.       Mansyur,
9.       M. Anwar (Malang),
10.    Hasan Basri (Surakarta),
11.    Marwan (Bengkulu),
12.    Zulkarnaen (Bengkulu),
13.    Tayeb Razak (Jakarta),
14.    Toha Mashudi (Malang),
15.    Bidron Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI

1.       Posisi dan arti kota Yogyakarta

a.       Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
b.       Pusat Gerakan Islam
c.       Kota Universitas/ Kota Pelajar
d.       Pusat Kebudayaan
e.       Terletak di Central of Java

2.       Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa

3.       Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia

4.       Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi)

5.       Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).

6.       Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir

7.       Ummat Islam Indonesia mayoritas


Faktor Penghambat Berdirinya HMI

Munculnya reaksi-reaksi dari :
1.       Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
2.       Gerakan Pemuda Islam (GPII)
3.       Pelajar Islam Indonesia (PII)


FASE-FASE PERKEMBANGAN SEJARAH HMI


1.       Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
Sudah diterangkan diatas
2.       Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.

3.       Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun \'64-\'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.

4.       Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.

5.       Fase Tantangan (1964 - 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.

Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.

6.       Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.

7.        Fase Pembangunan (1969 - 1970)
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
 1)    Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,
2)     Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3)     Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.

8.       Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - 1998 )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu.
Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.
Pada tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
9.       Fase Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari  1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.

MASA DEPAN HMI TANTANGAN DAN PELUANG
                Kritik terhadap HMI datang dari dalam dan dari luar HMI. Kritik ini sangat positif karena dengan demikian HMI akam mengetahui kekurangan dan kelebihan organisasi. Sehingga kedepan kita mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keadaan jaman.
                Dari masa kemasa, beberapa persoalan yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap rehabilitasi masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI, Yahya Muhaimin dalam konggres HMI ke XX mengemukakan konsep tentang revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi, dan restrukturisasi organisasi. Anas Urbaningrum menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI.  Yakni dengan langkah : Peningkatan visi HMI, intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi.
                Untuk pencapaian tujuan HMI perlu dipersiapkan kondisi yang tepat sebagai modal untuk merekayasa masa depan sesuai dengan 5 kualitas  insan cita HMI. Tantangan yang dihadapi HMI dan masa depan bangsa Indonesia sangat komplek. Tetapi justeru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan cita-cita HMI sampai mencapai tujuan.


PENUTUP

                Dengan mengetahui sejarah masa lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak hanya cukup dengan mengikuti training formal. Mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan secara terus menerus tanpa batas kapan dan dimanapun. Dengan cara seperti itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secata utuh dan benar.
Yakin usaha sampai bahagia hmi.

Meredefinisi Hubungan Agama dan Negara


Masdar F. Mas’udi
 
·        Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
·        Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
·        Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
·        Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q: Al Baqarah/176).
·        Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
·        Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.
***
·        Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
·        Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.
·        Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
·        Jujur saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam, seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan, gerakan.
·        Ketiga, dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan, yang nota bene adalah Barat.
·        Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
·        Dengan demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja. Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
·        Bahkan di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari kritik tersebut.
***
·        Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
·        Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
·        Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
·        Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
·        Tidak bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
·        Akan tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain.
·        Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama.
·        Bahkan untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif, ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan. Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari agama-agama lain
·        Oleh sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7 kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya; bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata. *
Masdar F. Mas’udi
Katib Syuriah PBNU


RELASI AGAMA DAN NEGARA


Hubungan Agama dan Negara

·        Para sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran :

·        1. Paradigma Intergralistik
Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di "Tangan Tuhan".

·        2. Paradigma Simbiotik
Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembanga. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

·        3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.
Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting. Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan, bukan hubungan keagamaan. Apabila negara diatur oleh konstitusi Islam, yang bersemangat ditentang oleh al-Ashmawy ketika Presiden Anwar Sadat menimbang proposal konstitusi Islam tersebut pada akhir 1970-an, maka itu berarti pencampakkan status non-Muslim menajdi warga negara kelas dua. Sejak tahun 1977, Mesir melarang pembentukan partai politik apa pun dengan landasan agama.

·        Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan kenegaraan. Sedangkan responsi fakultatif, jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen, kaum muslimin atau gerakan Islam, akan berusaha membuat peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap "tidak Islami".

·        Kesimpulan bahwa negara/imperium Islam menjadi negara sekuler adalah tidak dapat dibenarkan dan merupakan salah-urus. Sekularisasi itu sebuah istilah modern untuk menyatakan pemisahan agama dan negara. Konsep ini tidak mencerminkan realitas politik. Sepanjang sejarah Islam, legitimasi penguasa itu dan cetak-biru yang ideal bagi negara, baikpun berbentuk khalifah, maupun imamah ataupun sulthaniyah, tetap secara resmi mengikuti hukum Islam sebagai basis negara dan mesyarakat.



Hubungan Agama dan Negara Di Turki

·        Kata "Turk" hanya berarti sebagai warga petani, nomad, atau sebagai warga pendalaman yang dungu (bumpkin)- masyarakat yang tidak berpendidikan Abdullah jawet (1869-1932) menyampaikan landasan nasional Turki. Pada tahun 1918 imperium Usmani hancur, namun elite birokratik dan militer telah siap mengubah komitmen mereka dari sebuah rezim multi-nasional dan multi relegius menjadi sebuah negara nasional Turki dan sekuler. Seusai perang dunia I Mustafa Kemal berusaha mewujudkan prinsip-prinsip generasi Turki Muda. Mustafa Kemal, elite nasional berhasil memobilisir massa Turki untuk berjuang penduduk asing dan mendukung ide kebangsaan. Mustafa Kemal mengorganisir perjuangan Defense of Raights of Anatoli and Rumania (Gerakan perjuangan hak-hak Anatoli dan Rumania), mendirikan Grand National Assembly (majelis Nasional Agung) di Ankara (1920), memberlakukan konstitusi baru (1921), dan mendirikan rezim republik atas sebagian besar wilayah Anatoli.
Sejarah Turki modern dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fase. Periode antara 1921 dan 1950 merupakan fase kediktatoran presidensial, reformasi agama, dan tahap awal program industrialisasi. Dari tahun 1950 sampai masa sekarang merupakan fase sistem politik multi-partai, fase berkembangnya diferensiasi sosial, fase perubahan ekonomi pesat, fase berkecamuknya konflik idielogis.
Pada dekade 1920 dan 1930-an, rezim Mustafa Kemal Ataturk mengagendakan revormasi kultural. Seperti, menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam, kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923, khilafah dihapuskan pada tahun 1924. lembaga wakaf dan lembaga ulama’ dikuasakan pada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab hukum swiss. Undang-undang keluarga tahun 1916 dan 1917 mengakhiri undang-undang syari’ah, mempersulit poligami dan memberikan izin kepada wanita mengajukan perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan UU keluarga tahun 1924 mengharamkan poligami, menjadikan suami dan isteri berkedudukan sama dalam perceraian. Pada tahun 1935 beberapa perwakilan wanita terpilih dalam parlemen Turki. Demikianlah, Islam "dilepaskan" dan diasingkan perannyadalam kehidupan masyarakat dan simbol-simbol ketergantungan bangsa turki terhadap kultur tradisionalis digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberap identitas modern.
Fase kedua,pada tahun 1946, pemerintah Inonu mengizinkan pembentukan Democrat Party (Partai Demokrat). Partai demokrat berjuang membatasi intevensi negara dalam perekonomian dan menghapuskan berbagai pembatasan dalam praktek keagamaan Islam. Pemilihan nasional tahun 1950 mengundang konflik antar rezim otoriter dan sekuler, dan tuntutan propinsial terhadap sebuah pemerintahan liberal yang toleran terhadap Islam.
Isu keislaman di Turki haruslah dipahami kaitannya dengan perubahan sosial dan persaingan politik yang bersifat pruralistik. Di dalam negara Turki kontemporer, tradisi ulama perkotaan sebagian besar telah hancur dan tidak lagi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ideologi republik adalahsekuler sementara kalanmgan atasan komitmen terhadap ideologi sekuler tersebut. Aspek kebangkitan Islam di Turki diwakili oleh The National Salvation Party (1960), partai ini bermaksud mendirikan sebuah negara Islam di Turki. Tapi The National Salvation Party pada pemilihan 1970-an meraih prosentase suara dalam jumlah kecil. Kebangkitan Islam di Turki hanyalah sebagian dari perkembangan sejumlah ideologis, seperti sosialis, kapitalisme, komunisme dan lain sebagainya. Isu sekularisme versus Islam hanyalah satu di antara sejumlah isu lainnya yang berkembang di tengah masyarakat Turki yang telah menjalani proses modernisasi.
Pada abad dua puluh perubahan ekonomi dan sosial Turki mengantarkan pada perkembangan sebuah masyarakat nasional yang sangat pruralistik, dan sekuler di mana Islam melanjutkan peran keagamaan yang sangat menonjol bagi sebagian besar warga Turki, tetapi peran tersebut berlangsung di luar kehidupan yang bersifat publik.