Asta
Gurang Garing merupakan salah satu tempat wisata religi yang kisah dari
masyarakat setempat adalah makam dari Kyai Syeikh Mahfudz. Jarak tempuh ke tempat ini yang cukup
jauh tidak mengurangi niat orang yang ingin ziarah ketempat ini. Tiap hari puluhan,
bahkan hari-hari tertentu jumlahnya mengalami lonjakan yang datang ke makam ini.
Asta
Gurang Garing letaknya cukup jauh dari daerah Sumenep kota, yaitu sekitar ±34
km atau sekitar 1 jam perjalanan. Tepatnya di Desa Lombang, Kecamatan Batang-Batang,
Kabupaten Sumenep. Bagi para peziarah
dari Pulau Jawa yang hendak ke pulau Madura bisa dengan menempuh jalur laut
dari pelabuhan Perak menuju pelabuhan Kamal. Namun juga bisa dengan cara
memanfaatkan jasa penyeberangan jembatan Suramadu.
Madura
lebih dikenal dengan sebutan Pulau Garam, karena Madura merupakan salah satu
pulau yang banyak menghasilkan garam berkualitas. Carok dan kerapan sapi juga
merupakan identitas dari pulau Madura. Madura memiliki empat kabupaten/kota,
yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sumenep jika dalam bahasa
Madura disebut Songènèb. Songènèb
sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi / Jawa Kuno yang jika
diterjemaahkan mempunyai makna sebagai berikut : Kata “Sung” mempunyai
arti sebuah relung/cekungan/lembah, dan kata “ènèb” yang berarti endapan yang
tenang, maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep (dalam bahasa
Madura) mempunyai arti "lembah/cekungan yang tenang".
Predikat
santri sepertinya memang layak dinisbatkan kepada masyarakat Madura. Karena kepatuhan
masyarakatnya akan sosok pemuka Agama atau kyai ternyata tidak hanya dilakukan saat
kyai tersebut masih ada dikehidupan sosial mereka. Namun juga ketika sudah
wafatpun sosok seorang kiyai tetap mendapatkan penghormatan yang luar biasa
dari para santri atau masyarakat disekitarnya. Masyarakat Madura yang mayoritas
beragama Islam ini juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak pemuka Agama
dari dalam hingga luar Madura yang mengabdikan dirinya untuk tetap menjunjung tinggi Agama Allah di
pulau ini. Tradisi masyarakat Madura diwaktu-waktu tertentu seperti Hari Raya
Idul Fitri adalah dengan berkunjung (ziarah) ke makam para Ulama’ atau Kiyai
dengan mengharap doa barokahnya. Diketahui bahwa pada hakikatnya ruh dari
manusia itu tidak pernah mati. Sehingga masyarakat percaya bahwa dengan datang
dan mengirimkan do’a di makam yang diyakini keramat akan mendapatkan balasan
do’a pula dari para muslim yang telah lebih dulu meninggalkan kehidupan dunia. Makam
kyai juga seringkali dianggap sebagai tempat keramat yang di percaya sebagai tempat
paling tepat untuk berdoa kepada Tuhan dengant tujuan tertentu di samping juga mendoakan
arwah kyai tersebut.
Menurut
sejarah masyarakat setempat, asta Gurang Garing ini lebih dikenal dengan
sebutan asta Syayid Yahya dan sudah dilegendakan. Akan tetapi cucu dari Sayyid Yahya sendiri menyebutnya
dengan julukan Syeikh Mahfudz. Di daerah Gapura Timur, Kecamatan Batang-Batang Kabupaten
Sumenep adalah tempat dimana Syeikh Mahfudz membagi ilmunya. Pada saat ia sedang
mengajar, beliau mendapat panggilan dari raja pertama Sumenep yaitu Pangeran Arya
Wiraraja. Arya Wiraraja dilantik pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus
bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin olehnya banyak
kemajuan yang terjadi di kerajaan Sumenep. pria yang berasal dari desa Nangka
Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya
Wiraraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dibidang ilmu
penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah.
Tujuan
dari Arya Wiraraja memanggil Syeikh Mahfudz ialah untuk memerintahkan beliau untuk
menjadi seorang hakim di kerajaan, tetapi beliau tidak dapat memberikan jawaban
secara langsung dan meminta waktu
beberapa hari untuk mempertimbangkan titah dari raja tersebut. Selama waktu
yang diberikan oleh raja dipergunakan beliau untuk berfikir dan meminta
petunjuk kepada Allah. Yang menjadi pertimbangan bagi Syeikh Mahfudz ialah
bahwa ketika beliau memutuskan menerima perintah dari sang raja, secara tidak
langsung beliau akan menetap di kerajaan. Sedangkan beliau sendiri masih
mempunyai tanggung jawab yang besar, yaitu mengajar para santrinya.
Dua
hari kemudian Syeikh Mahfudz datang kembali ke kerajaan untuk memberikan
jawaban kepada sang Raja dan berkata, “Maafkan hamba Gusti! Hamba tidak dapat
memenuhi perintah raja untuk menjadi hakim. Karena hamba takut terikat dan
membebankan bagi hamba dengan harus menjadi seorang hakim. Selain itu, hamba mempunyai
tanggung jawab atas pondok pesantren yang
hamba dirikan dan santri-santri hamba. Hamba pun sangat sayang dengan santri-santri
dan tidak tega untuk menginggalkan mereka. Sehingga berat rasanya untuk menerima
tugas yang Gusti berikan pada hamba”. Mendengar pernyataan dari Syeih Mahfudz,
raja tersebut sangat marah. Karena menolak perintah yang diberikan, akhirnya Syeikh
Mahfud mendapatkan hukuman dari raja, yaitu diperitahkan untuk mengisi gentong
air raksasa, tepatnya di halaman belakang kerajaan. Gentong itu besar dan kering
yang tidak ada airnya sama sekali. Dari cerita turun-temurun menyatakan bahwa
kata “besar” itu disebut dengan Gorang
dan kata “kering” itu adalah Garing.
Oleh
karna itulah, alasan orang banyak menyebutnya dengan istilah Gurang Garing yang
berarti gentong raksasa yang kering. Akan tetapi Syeih Mahfudz kaget karena tidak
ada air pada waktu itu untuk mengisi gentong raksasa tersebut. Sedangkan sungai
yang ada di sekitar kerajaan tersebut pun masih dalam kondisi mengering. Salah
satu faktor sulitnya air pada saat itu ialah dikarenakan hujan yang tak kunjung
datang. Akhirnya Syeikh Mahfudz bermunajat kepada Allah SWT, dan dilanjutkan
dengan melakukan shalat sunah 2 rakaat. Dengan kuasa Allah kemudian awan mendung datang
tiba-tiba dan berbentuk seperti nampan. Setelah
itu dengan derasnya air hujan tersebut mampu mengisi gentong air yang besar, hingga
akhirnya gentong tersebut terisi dengan penuh. Namun Syeikh Mahfudz tetap membiarkan
air di dalam gentong itu meluap, dan akhirnya air itu meluas sampai kehalaman kerajaan.
Orang-orang yang ada di kerajaan pada waktu itu sangat kebingungan karena ada
air yang mengalir di halaman kerajaan.
Ada
salah satu dari patih yang melapor kepada raja bahwa halaman kerajaan di penuhi
dengan air, dan raja pun sungguh terkejut setelah mengetahuinya. Raja terkejut karena
sungai yang kering pada awalnya tiba-tiba sudah teraliri oleh air. Keterkejutan
sang raja bertambah karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan.
Arya Wiraraja kemudian berkata kepada sang Patih, “Hei Patih! air ini dari mana
datangnya? coba kamu periksa..!!”. mendengar perintah dari raja, sang patih pun
langsung bergegas mencari asal-usul datangnya air tersebut. Patih sendiri heran
dengan kejadian itu, tiada hujan tapi ada banyak air di sekitar kerajaan.
Sewaktu
dalam perjalanan patih bertemu dengan kiyai. Kemudian Patih bertanya, ”Pak kyai
dari mana datangnya air ini? Padahal di daerah sekitar kerajaan kering tidak ada
air dan jarang ada turunnya hujan?”. Sambil bertanya sang Patih menatap ke atas
dan melihat adanya awan mendung di atas gentong raksasa itu. Keheranan sang
Patih bertambah ketika disekitar gentong tersebut sama sekali tidak ada hujan. ”Hujan itu datang karena rahmat Allh SWT
sehingga gentong yang besar ini dapat terisi penuh”. jawab Pak kiyai. “Tapi pak Kiyai, air ini mengalir
sampai ke halaman kerajaan dan harus segera di berhentikan!” bantah sang patih.
Kemudian kyai bermunajat kembali kepada Allah dan akhirnya hujan itu secara tiba-tiba
berhenti dengan sendirinya. Setelah itu kiyai menghadap kepada sang raja untuk meminta
maaf karena sudah membuat resah seluruh penghuni kerajaan. Kiyai menceritakan semua
yang terjadi kepada raja. Sehingga raja mengatakan dan menyebutkan bahwa kyai itu
adalah “Lambi Cabih” yang
artinya bibir pedas. Maksudnya dari kata “bibir pedas” itu adalah bahwa do’anya
dari Syeih Mahfudz ini mustajab atau cepat terkabul.
Selang
kemudian Kiyai pun kembali pulang ke kampung halamannya. Masyarakat pun mendengar
tentang apa yang telah terjadi di kerajaan bahwa do’a Syeih Mahfudz mustajab (manjur)
dan dijuluki kiayi Lambi Cabih oleh raja Sumenep. Karena sebelumnya desa yang
ditempati oleh Syeih Mahfudz tersebut belum mempunyai nama, maka akhirnya
kampung tersebut diberi nama kampung Lambi Cabih oleh kiyai tepatnya di daerah
Gapura Timur Kecamatan Batang-Batang Kabupaten
Sumenep. Di sana juga banyak didirikan pondok-pondok pesantren.
Sebelum
adanya Asta Gurang Garing, dulu ada pelabuhan besar dan penuh dengan rumah-rumah
masyarakat. Pada saat itu rencananya kota Sumenep akan dipindahkan ke daerah
Lombang, akan tetapi hal itu tidak dapat terealisasikan karena ada salah satu santri
yang mengadu pada Syeikh Mahfudz bahwa
di desanya banyak masyarakat yang melakukan hal ke maksiatan seperti
minum-minuman keras, perzinahan, judi dan sebagainya. Ironisnya, beberapa dari santri
Syeikh Mahfudz ikut terpengaruh untuk melakukan hal haram yang di larang Allah
tersebut. Syeikh mahfudz kecewa ketika melihat kelakuan santri dan
masyarakatnya yang berperilaku hidup tidak baik. Beliau merasa telah gagal
membina dan mendidik orang-orang di desanya.
Akhirnya
beliau mengambil keputusan untuk pergi ke suatu pemukiman di desa Lombang.
Beliau memulai harinya di desa itu dengan berdakwah tentang ajaran Islam. akan
tetapi dakwah yang dilakukan beliau tidak di terima dengan baik oleh masyarakat
di permukiman tersebut. Masyarakat mengancam, jika beliau masih tetap berdakwah
maka beliau akan di usir dengan cara seperti binatang (tidak terhormat). Beliau
hanya pasrah menghadapi semua cobaan itu dan tetap bertawakal kepada Allah. Beliau
percaya bahwa Allah akan menolong beliau keluar dari semua cobaan yang terjadi.
Syeikh Mahfud kemudian bermimpi bahwa di dalam mimpinya tersebut beliau diberi
karunia ilmu kebatinan dan beliau diperintahkan untuk tidak melakukan shalat
wajib 5 waktu, dengan catatan beliau harus tetap selalu ingat kepada Allah SWT.
Mimpi
itu pun beliau lakukan dan meninggalkan shalat 5 waktu yang telah
diperintahkan. Beberapa hari kemudian masyarakat pun mengetahui bahwa Syeih
Mahfudz tidak melaksanakan shalat wajib. Melihat hal tersebut masyarakat juga
tidak melaksanakan shalat wajib dan meminta kepada Syeikh Mahfudz agar mereka
juga diberikan ilmu kebatinan seperti yang telah ia dapatkan. Mengetahui
kondisi masyarakat yang demikian beliau sangat marah. Setelah diberikan
penjelasan panjang lebar, masyarakatnya tetap tidak mau melaksanakan shalat dan
tetap menginginkan ilmu kebatinan supaya tidak perlu shalaat lagi.
Melihat
masyarakatnya yang keras kepala kemudian beliau berdoa, meminta kepada Allah
untuk di datangkannya balak yang sangat besar bagi semua masyarakat yang
menentangnya. Allah pun mengabulkan do’a dari Syeikh Mahfudz. Akhirnya,
penyakit mutaber lah yang tiba-tiba melanda masyarakat. Penyakit tersebut
menewaskan dua puluh orang yang meninggal dalam setiap harinya. Pada zaman dahulu
tidak ada fasilitas dokter atau obat yang dapat menyembuhkan penyakit mutaber
tersebut. Sehingga penyakit tersebut mudah meular. Tanah yang luasnya 1000 M
hanya di buat untuk mengkubur orang-orang yang meninggal. Banyaknya orang yang
meninggal setiap harinya membuat masyarakat merasa lelah untuk membuat lubang
kuburan. Hingga terkadang dalam satu lubang mereka isi dengan 5 mayat.
Sampai
pada akhir hayat Syeikh Mahfudz, penyakit tersebut tetap melanda. Menurut
kisah, lebih banyak orang mukmin yang meninggal dunia dari pada orang yang
mungkar kepada Allah. Di suatu saat ada seseorang yang bermimpi bahwasanya di
dalam mimpi tersebut menyatakan bahwa setiap ada orang yang meninggal haruslah dikubur
dengan cara dalam satu lubang harus di isi dua mayat. Dan itu pun harus posisi
dari mayat tersebut harus di bolak-balik. Dalam artian, kepala yang satu
mengarah ke utara dan juga ada yang yang mengarah ke selatan. Tetapi itu semua
sudah terlambat karena semua masyarakat yang ada di desa tersebut meninggal
semua. Kini kuburan-kuburan itu telah ditanami pohon dan tumbuhan sejenisnya
oleh masyarakat setempat.
Pada intinya istilah
lambi cabih itu ada dikarenakan julukan sang raja untuk Syeikh Mahfudz yang
dianggap mustajab dalam hal perkataan. Sedangkan istilah Gorang Garing itu
sendiri ialah sebutan dari gentong raksasa yang ada di halaman belakang
kerajaan Sumenep di masa lalu. Asta Gorang Garing sendiri ialah makam dari Syeikh
Mahfudz. Itulah kisah asal-usul dinamakannya desa Lambi Cabih dan Asta Gurang
Garing yang ada di daerah Gapura Timur Kecamatan Batang-Batang Kabupaten
Sumenep Madura.Oleh: Eva Susanti
Mahasiswi Jurusan Sastra Inggris, UTM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar