Selasa, 30 April 2013

Pers Masa Orde Baru dan Orde Reformasi

Pers Masa Orde Baru dan Orde Reformasi
Oleh : Badri Stiawan
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi UTM ‘11)

            Dahulu semenjak berubahnya masa kepemimpinan Orde Baru pada akhir Mei 1998 ke masa Orde Reformasi, kebebasan dan perkembangan pers seakan mendapatkan angin yang baru dan segar. Pemberitaan yang awalnya lebih didominasi oleh pujian-pujian dan sanjungan terhadap kepemimpinan pada masa Orde Baru dan sulit bagi media untuk bisa menunjukkan ataupun memberikan berita-berita yang sesuai dengan realitas yang ada. Namun dengan runtuhnya masa kepemimpinan Orde Baru, pers kini telah mampu berubah posisi yang pada awalnya model system media yang digunakan di Indonesia adalah otoritarian yang meliputi otoriter murni, komunis dan media pembangunan kini berubah menjadi dan menggunakan model sistem media libertarian yang meliputi di dalamnya liberal murni, tanggungjawab sosial, dan demokratik partisipan yang mana model libertarian ini mengarah pada media demokrasi (diatur sebebas-bebasnya), berbeda dengan model otoritarian yang cenderung otoriter (diatur dengan ketat).
            Jika dikaji kembali ternyata asumsi berikut memang benar bahwa sensivitas suatu pemberitaan sangat bergantung pada kondisi system politik di mana Negara itu berada. Sebelum masa reformasi tahun 1998 sangat sulit mencari pers yang berani mengkritik dan mengungkapkan keburukan dari setiap kebijakan yang diberikan pada masa orde baru, atau yang berani menyalahkan tindakan dan kebijakan ABRI di Aceh atau Timor Timur. Bahkan pada saat itu pers Indonesia kerap dinilai sedang mengidap penyakit inferiority complex, atau hilangnya kepercayaan diri terhadap fakta-fakta social (Subiakto, 1997: 95). Dengan lahirnya Orde Reformasi menunjukkan adanya demokratisasi media massa, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang sesungguhnya di Indonesia pasca pemerintahan rezim Soeharto yang mempunyai kuasa penuh terhadap media massa, hingga tidak ada pers yang berani menentangnya.
            Dengan berbagai alasan Soeharto berusaha membungkam dan membatasi gerak dari setiap pemberitaan yang muncul dari media massa. Dengan alasan stabilitas politik dia mengebiri kepentingan dan kebebasan rakyat untuk berekspresi. Dikatakan juga bahwa kekuasaan itu cenderung disalah gunakan, apalagi kekuasaan yang tanpa batas pasti disalah gunakan tanpa batas pula (Budiharjo, 1981: 99). Terbukti dengan kekuasaannya Soeharto memberikan kebijakan yang belum tentu atas kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi dan pihak-pihak tertentu. Ini juga yang menjadikan alas an mengapa pers bisa dikatakan takut untuk mempertanyakan dan memberitakan yang sebenarnya mengenai kepemimpinan presiden Soeharto terkait dengan kebijakannya yang terkadang tidak pro kepada rakyat.
            Munculnya berbagai pemberitaan dengan jurnalisme baru di masyarakat adalah komsekuensi kebebasan pers dan kondisi yang menuju masyarakat demokratis yang perlu disambut gembira. Karena iklim kebebasan informasi akan mendewasakan masyarakat, untuk memahami berbagai peristiwa sekaligus membiasakan adanya perbedaan pendapat di antara mereka (dikutip dari buku, “Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi”. Henry Subiakto & Rachmah Ida, 2012). Di era Reformasi tidak ada lagi kendala untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai realitas sosial yang terjadi. Namun dengan lahirnya kebebasan berekspresi ini masih banyak yang tidak mengerti bahkan salah mengartikan kata bebas di sini. Tidak sedikit orang yang belum bisa menerima kritikan, hujatan dan lain sebagainya yang diberitakan melalui media massa dan tidak tahu membedakan mana berita sensasional dengan berita yang aktual. Kebebasan kali ini banyak mengundang tanda Tanya dari masyarakat akan berita-berita yang kian kontroversial dan membingungkan.

            Jika dikaitkan melalui pendekatan teori Perkembangan Teknologi Komunikasi maka seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan masyarakat informasi di Indonesia yang mana masyarakat informasi begitu menghargai tinggi akan informasi, oleh karena itu kebebasan pers saat ini sangatlah dibutuhkan. Mengingat masyarakat perlu akan informasi yang beragam baik isi maupun dari segi esensi berita yang di sajikan oleh media massa. Dengan isi yang beragam inilah lahir opini-opini dari masyarakat atau lebih dikenal dengan opini public mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Dengan ini masyarakat bisa ikut andil dan ikut mengambil peran dalam artian bisa aktif dan bisa lebih komunikatif dalam menanggapi suatu persoalan yang diberitakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar