Pers
Masa Orde Baru dan Orde Reformasi
Oleh
: Badri Stiawan
(Mahasiswa
Ilmu Komunikasi UTM ‘11)
Dahulu semenjak berubahnya masa
kepemimpinan Orde Baru pada akhir Mei 1998 ke masa Orde Reformasi, kebebasan
dan perkembangan pers seakan mendapatkan angin yang baru dan segar. Pemberitaan
yang awalnya lebih didominasi oleh pujian-pujian dan sanjungan terhadap
kepemimpinan pada masa Orde Baru dan sulit bagi media untuk bisa menunjukkan
ataupun memberikan berita-berita yang sesuai dengan realitas yang ada. Namun
dengan runtuhnya masa kepemimpinan Orde Baru, pers kini telah mampu berubah
posisi yang pada awalnya model system media yang digunakan di Indonesia adalah
otoritarian yang meliputi otoriter murni, komunis dan media pembangunan kini
berubah menjadi dan menggunakan model sistem media libertarian yang meliputi di
dalamnya liberal murni, tanggungjawab sosial, dan demokratik partisipan yang
mana model libertarian ini mengarah pada media demokrasi (diatur
sebebas-bebasnya), berbeda dengan model otoritarian yang cenderung otoriter
(diatur dengan ketat).
Jika dikaji kembali ternyata asumsi
berikut memang benar bahwa sensivitas suatu pemberitaan sangat bergantung pada
kondisi system politik di mana Negara itu berada. Sebelum masa reformasi tahun
1998 sangat sulit mencari pers yang berani mengkritik dan mengungkapkan
keburukan dari setiap kebijakan yang diberikan pada masa orde baru, atau yang
berani menyalahkan tindakan dan kebijakan ABRI di Aceh atau Timor Timur. Bahkan
pada saat itu pers Indonesia kerap dinilai sedang mengidap penyakit inferiority
complex, atau hilangnya kepercayaan diri terhadap fakta-fakta social
(Subiakto, 1997: 95). Dengan lahirnya Orde Reformasi menunjukkan adanya
demokratisasi media massa, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang
sesungguhnya di Indonesia pasca pemerintahan rezim Soeharto yang mempunyai
kuasa penuh terhadap media massa, hingga tidak ada pers yang berani
menentangnya.
Dengan berbagai alasan Soeharto
berusaha membungkam dan membatasi gerak dari setiap pemberitaan yang muncul
dari media massa. Dengan alasan stabilitas politik dia mengebiri kepentingan
dan kebebasan rakyat untuk berekspresi. Dikatakan juga bahwa kekuasaan itu
cenderung disalah gunakan, apalagi kekuasaan yang tanpa batas pasti disalah
gunakan tanpa batas pula (Budiharjo, 1981: 99). Terbukti dengan kekuasaannya
Soeharto memberikan kebijakan yang belum tentu atas kepentingan rakyat,
melainkan kepentingan pribadi dan pihak-pihak tertentu. Ini juga yang
menjadikan alas an mengapa pers bisa dikatakan takut untuk mempertanyakan dan
memberitakan yang sebenarnya mengenai kepemimpinan presiden Soeharto terkait
dengan kebijakannya yang terkadang tidak pro kepada rakyat.
Munculnya berbagai pemberitaan
dengan jurnalisme baru di masyarakat adalah komsekuensi kebebasan pers dan
kondisi yang menuju masyarakat demokratis yang perlu disambut gembira. Karena
iklim kebebasan informasi akan mendewasakan masyarakat, untuk memahami berbagai
peristiwa sekaligus membiasakan adanya perbedaan pendapat di antara mereka (dikutip
dari buku, “Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi”. Henry Subiakto
& Rachmah Ida, 2012). Di era Reformasi tidak ada lagi kendala untuk
mendapatkan informasi yang benar mengenai realitas sosial yang terjadi. Namun
dengan lahirnya kebebasan berekspresi ini masih banyak yang tidak mengerti
bahkan salah mengartikan kata bebas di sini. Tidak sedikit orang yang belum
bisa menerima kritikan, hujatan dan lain sebagainya yang diberitakan melalui
media massa dan tidak tahu membedakan mana berita sensasional dengan berita
yang aktual. Kebebasan kali ini banyak mengundang tanda Tanya dari masyarakat
akan berita-berita yang kian kontroversial dan membingungkan.
Jika dikaitkan melalui pendekatan
teori Perkembangan Teknologi Komunikasi maka seiring dengan pesatnya laju
pertumbuhan masyarakat informasi di Indonesia yang mana masyarakat informasi
begitu menghargai tinggi akan informasi, oleh karena itu kebebasan pers saat
ini sangatlah dibutuhkan. Mengingat masyarakat perlu akan informasi yang
beragam baik isi maupun dari segi esensi berita yang di sajikan oleh media
massa. Dengan isi yang beragam inilah lahir opini-opini dari masyarakat atau
lebih dikenal dengan opini public mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Dengan
ini masyarakat bisa ikut andil dan ikut mengambil peran dalam artian bisa aktif
dan bisa lebih komunikatif dalam menanggapi suatu persoalan yang diberitakan.