Kamis, 18 Oktober 2012

Teori Politik Klasik: Plato dan Machiavelli

 oleh: Mochtar W Oetomo

Teori Politik Klasik:
Plato dan Machiavelli
1. Plato
Pemikiran Plato merupakan suatu pemikiran yang sangat mempengaruhi dalam beberapa bidang pengetahuan terutama Filsafat dan pemikiran politiknya.bahkan mempengaruhi pemikir intelektual muslim abad tengah .Plato juga merupakan Pilar peradaban Barat pada dewasa ini.Dengan pemikirannya juga Plato adalah orang yang pertama melihat pentingnya lembaga pendidikan sehingga memotivasinya untuk membangun akademi pengetahuan
Sebagai pemikir,reputasi Plato mungkin melebihi reputasi gurunya,Socrates.Alferd North Wihitehead,Filosof Amerika mengemukakan kebesaran Plato itu.Ia berrpendapat bahwa sejarah seluruh Filsafat Barat hanyalah merupakan rangakaian catatan kaki (footnote) Plato .
• Pemikiran Plato
Kitab Politeia membicarakan masalah manusia sebagai suatu keseluruhan, segala aspek diri manusia itu dalam hubungannya dengan masyarakat, malah dalam hubungannya pula dengan jagat raya. Kitab tersebut menguraikan ajaran-ajaran praktis dalam pengertian ajaran-ajaran yang perlu dan harus diwujudkan. Dalam Kitab tersebut membicarakan empat masalah besar :
1. Metafisika
Mencari dan membiarkan apa sebenarnya hakikat segala yang ada.
2. Etika
Tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya.
3. Pendidikan
Pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup ini.
4. Pemerintahan
Pemerintahan yang seharusnya, yang ideal.
Keempat masalah tersebut merupakan suatu kebulatan. Dalam menulis Politeia, Plato mengemukakan peringatan dan suruhan daripada mengadakan suatu analisis keadaan atau kejadian. Kemunduran Athena dengan merajalelanya ketidaktahuan yang disertai pula dengan kepentingan diri, berpangkal pada demokrasi-kuno yang bisa menempatkan seseorang pada jabatan-jabatan tanpa mempunyai syarat-syarat yang diperlukan. Kepentingan diri sendiri berpangkal pada sifat individualisme yang tidak dikendalikan, yang menyamakan kepentingan negara (masyarakat) dengan kepentingan orang-orang yang kebetulan sedang berkuasa. Plato tidak menafikan tentang harus adanya keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat, tetapi keselarasan itu menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan negara ini dengan kepentingan orang seorang, melainkan sebaliknya, yaitu kepentingan orang seoranglah yang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Dengan demikian Plato lebih cenderung untuk menciptakan adanya rasa kolektivisme, rasa bersama, dari pada penonjolan pribadi orang-seorang.
Organisme adalah suatu kesatuan yang bulat di mana tiap anggota atau bagiannya merupakan alat yang tidak dapat dipisahkan dari rangka keseluruhan, dimana tiap anggota mempunyai fungsi atau tujuan tertentu yang sesuai dengan tujuan dari Organisme yang lebih besar, dimana tiap anggota atau bagian dapat berbuat, malah ada, karena adanya organisme itu. Organisme juga dipahami dengan melihat atau merasakan bahwa kalau ada bagian yang sakit, maka keseluruhan badan akan sakit, karena tiap bagian berhubungan dengan bagian yang lain. Tiap organisme mempunyai tujuan, dan tujuan ini tidak berlawanan, melainkan bersesuaian, antara yang satu dengan yang lain. Tujuan yang sama itu menghendaki adanya persesuaian dalam fungsi.
Keadilan akan tercapai bila tiap orang melakukan dan mengabdikan diri pada fungsi masing-masing sepenuhnya. Plato mengemukakan adanya analogi antara jiwa dan negara. Unsur yang di jumpai pada jiwa, dijumpai pula pada negara. Pada jiwa terdapat unsur keinginan, seperti lapar, dahaga, dan cinta. Adapula unsur logos (akal) yang dengannya manusia dapat belajar mengetahui sesuatu, dan karena mengetahui itu maka manusia mencintainya pula. Di antara kedua unsur itu dijumpai unsur semangat, yang menyangkut soal kehormatan. Unsur ini memberikan inspirasi manusia untuk bertempur, tetapi bukan didorong oleh rasa berontak terhadap ketidakadilan, dan rasa tunduk pada keadilan. Dalam jiwa, unsur ini berada diantara kedua unsur yang lain disertai kecenderungan untuk berpihak pada akal. Selaras dengan adanya ketiga unsur di dalam jiwa itu, maka dalam negarapun, terdapat tiga jenis kelas dengan fungsi masing-masing. Tiga jenis kelas tersebut adalah kelas Penguasa (yang mengetahui segala sesuatu), kelas pejuang atau Pembantu Penguasa (yang penuh semangat), dan kelas Pekerja(yang lebih mengutamakan keinginan dan nafsu.
Dengan demikian ketiga unsur jiwa tadi membentuk susunan negara. Adanya keinginan menyebabkan adanya asosiasi, perhubungan dan pergaulan antara manusia, suatu dasar pokok bagi adanya masyarakat atau negara. Manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia memerlukan manusia lain. Terutama saling memerlukan kerjasama dalam mencukupi kebutuhan jasmani, seperti makan-minum, menyebabkan manusia itu tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut plato,Negara Ideal menganut system prinsip mementingkan kebajikan sehingga (Virtue).Plato menilai Negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari Negara yang didambakan manusia,sangking pentingnya menurutnya Negara yang yang ideal adalah Negara yang penuh kebajikan.Mereka yang berhak menjadi penguasa adalah mereka yang meengerti sepenuhnya prinsip kebajikan.
Hubungan timbal balik atau (Interdependency) dan pembagian kerja secara social (social division of labour) merupakan prinsip lain pokok kenegaraan lain.Plato berangapan bahwa munculnya Negara adalah karena adanya hubungan timbakl-balik dan rasa saling membutuhkan antar sesame.ini dikarenakan manusia dianugrahi bakat dan kemampuan yang berlainan sehingga menciptakan ketergantungan dalam arti positif dalam masyarakat.
Mengenai cara kehidupan social Plato mengemukakan larangan atas kemipemilikan pribadi yang melarang adanya hak milik serta kehidupan berfamili.larangan ini melingkupi dalam bentuk uang,harta keluarga,anak istri.Adanya milik, akan mengurangi dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat.Karena dengan hak atas pemilikan pribadiakan menciptakan kecemburuan dan kesenjangan social dan menjadikan setiap orang berusaha untuk menumpuk kekayaannya.Semuanya itu akan menyebabkan kompetisi tidak sehat (free Fight Compettion) Larangan kepemilikan Plato terbatas hingga kelas-kelas penguasa dan pembantu penguasa saja. Kelas ketiga yaitu pekerja, di benarkan mempunyai milik dan berfamili, mereka pula yang menghidupi kelas-kelas lain. Dalam konteks ini Plato mengemukakan gagasan tentang pemilikan bersama,Kolektifitas atau Komunisme (Communism)
Pandangan Plato tentang anak dan wanita adalah bahwa ia mengakui hak yang sama antara wanita dan laki-laki, sebagimana yang dicerminkan dalam pengakuannya bahwa kedudukan penguasa dan pembantu penguasa dapat dipegang oleh wanita.Gagasan ini timbul karena Plato melihat lembaga perkawinan membuat wanita terinstusional sisasi secara social sebagai pekerja rumah tangga,”pengabdi”suami ,pengasuh anak.Wanita tidak dapat menjadi sama perannya dalam Negara seperti tentara dan penguasa Negara.
Alasan dari gagasan individualisme Plato adalah sifat individualisme yang didengngkan oleh para sofis dimasa itu dapat merusak kehidupan social masyarakat Athena.manusia nanti hanya memntingkan dirinya sendiri tanpa memerhatikan orang lain.padahal kehidupan bernegara pada hakikatnya menekankan salaing ketergantungan sesame warga Negara.
Kebahagiaan menurutnya terletak pada keajiban atau fungsi masing-masing yang dipenuhi. Syarat-syarat penguasa bisa didapati di dalam diri seorang filosof. Pendapatnya ini berpangkal pada pendirian bahwa pengetahuan nyang sebenarnya, yaitu kebajikan, hanya bisa diperoleh oleh seorang filosof. Ia adalah orang yang berpendirian bahwa orang yang berilmu haruslah memberikan sumbangannya bagi masyarakat. Orang-orang yang harus mendapatkan kepercayaan dalam memimpin negara dan masyarakat itu adalah orang-orang yang suguh-sungguh berilmu, yaitu filosof-filosof.
Kitab lain yang ditulis Plato adalah Kitab Hukum (Nomoi), yang tidak menempatkan penguasa diatas hukum melainkan sebagai pengemban dan penjaga hukum itu sendiri, sebagai hambanya. Hukum menurut Plato sebagai sesuatu yang menangani segenap segi hidup, termasuk segi-segi moral dan hukumpun merupakan suatu cara pendidikan yang pelaksanaannya lebih tergantung pada kesadara dan bukan pada hukuman.
Perbedaan antara Politeia dan Nomoi adalah bahwa menurut Nomoi baik penguasa maupun yang dikuasai semuanya mempunyai hak-hak politik, sedang dalam Politeia hak tidak dipersoalkan, yang dikemukakan adalah hak dan kewajiban.
Menurut Nomoi penguasa mempunyai milik serta keluarga. Komunisme yang dianjurkan dihapuskan. Penguasa tidak pula merupakan kelas tersendiri karena siapa yang duduk dipemerintahan bergantung pada pilihan yang datang dari rakyat.
• Relefansi pemikiran Plato pada saat ini
Pemikiran Plato yang menjadi dasar banyak pemikiran pada dewasa ini, pemikirannya tentang kepemilikan bersama merupakan dasar dari teori Komunisme pada sekarang ini.Selain itu seperti yang telah disebutkan diatas Pemikiran Plato tentang pentingnya lembaga pendidikan membawa lompatan besar dalam peradaban manusia karena perkembangan ilmu pangetahuan terus dapat ditingkatkan.
2. Niccollo Machiavelli
.Dengan pemikirannya yang dia tuangkan dalam bukunya The Prince dapat mempengaruhi seorang seperti Louis XIV sehingga mempengaruhi Raja untuk menjalankan pemerintahannya secara Tirani dan ditaktor,sehingga memunculkan revolusi Prancis yang terkenal dalam sejarah dan tentu saja pristiwa itu juga turut andil dalam menyulut pristiwa besar dunia selanjutnya.
Selain itu gagasannya menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.Banyak negarawan dan penguasa dunia yang mengakui telah menjadikan buku Marchiavelli sebagai buku penggangan (hand Book) mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya.misalnya Hitler dan Mossolini.Gagasan yang telah menjadi basis Intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis(realisme).Realisme sebagai aliran penting dalam kejian diplomasi internasional,banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli.
• Pemikiran politik Nicollo Marchiavelli

Machiavelli sering dikemukakan sebagai seorang pemikir yang tidak mengindahkan nilai-nilaimoral. Bahkan Machiavelli seing juga dikemukakan sebagai seorang yang menganjurkan untuk mengesampingkan nilai-nilai moral tadi untuk dapat mempertahankan kemegahan dan kekuasaan. Kitabnya, Pangeran, penuh dengan nasihat-nasihat demikian, sehingga apa yang disebut Machiavellisme adalah ajaran tanpa moral tadi
Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai manusia. Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan kemasyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya inilah kebajikan. Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu
Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran syurgawi kelak. Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.
Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre negara (state). Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana berpendapat bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat) dimana yang kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan mempertahankan negara yang baru saja direbut itu.
1. Memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh keluarga penguasa lama. Tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama sebab hal itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu saat kelak.
2. Dengan melakukan kolobisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar pasukan infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat. Cara kolonisasi pernah dilakukan bangsa Romawi.
Dari kedua cara itu menurut Machiavelli cara pertama adalah cara yang paling efektif meski bertentangan dengan aturan moralitas.
Dalam The Prince, Machiavelli juga menguraikan bahwa mereka yang menjadi penguasa lewat cara-cara keji, kejam, dan jahat tidaklah dapat disebut memperoleh kekuasaan berdasarkan kebajikan (virtue) dan nasib baik (fortune). Cara itu seperti dipraktekkan Agathocles yang membunuh secara biadab senator Syarcuse demi menduduki tahta kekuasaan, memang bisa menjadikan mereka penguasa negara. Tetapi kata Machiavelli penguasa itu tidak akan dihormati dan dipuja sebagai pahlawan. Apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan, kekejaman dan perbuatan keji lainnya sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari. Machiavelli menyimpulkan bahwa cara-cara itu hanya akan menjadikan sang penguasa berkuasa tetapi tidak menjadikannya terhormat, pahlawan atau orang besar.
Machiavelli menyarankan kalaupun seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan menggunakan “cara binatang” hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi kebahagiaan mereka. Dia juga harus berusaha agar selalu membuat rakyat tergantung kepadanya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata Machiavelli , akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut terhadap pembangkangan sosial. Inilah menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang harus dilakukan seorang penguasa.
Dalam sejarah agama kuno, menurut machiavelli, hanya nabi-nabi bersenjata (the armed prophets) dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya. Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang mereka bawa, akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer . Atas dasar asumsi itu machiavelli menilai keberadaan angkatan perang yang kuat sebagai suatu keharusan yang dimilki negara. Machiavelli menyadari benar akan pentingnya angkatan bersenjata bagi seorang penguasa negara. Angkatan bersenjata, menurut Machiavelli merupakan basis penting seorang penguasa negara. Ia merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. Penguasa yang tidak memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya.
Menurut Machiavelli sungguh berbahaya menggunakan tentara sewaan. Kalau seorang penguasa mengandalkan tentara sewaan, ketenangan dan keamanan negara tidak bisa dijamin. Negara mudah goyah. Machiavelli menyebutkan alasan-alasan mengapa demikian. Tentara sewaan katanya tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan, tidak berdisiplin, tidak setia kepada penguasa (yang menyewa mereka), tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak setia terhadap sesama rekan mereka, dan menghindarkan diri dari peperangan.
• Relevansi Pemikiran Nicollo Marchiavelli
Pemikiran poltik Marhiaveli mempunyai peranan besar pada masa sekarang ini,teorinya tentang tirani dan penguasa yang diktator masih dapat Kita jumpai pada abad XXI ini walaupun tidak ada tokoh sekarang ini berani mngemukakan pemikiran Marchiavelli sebagai dasar dari tindakannya seperti yang pernah dilakukanoleh Louis XIV,Hitler dan Mussolini.

1 komentar:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Niccolo Machiavelli (imajiner), “Machiavellianism” adalah istilah negatif yang digunakan secara luas untuk menggambarkan politikus tak bermoral seperti gambaran Niccolo yang masyur di buku “The Prince.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/02/wawancara-dengan-niccolo.html.

    BalasHapus