Masdar F. Mas’udi
·
Seperti
diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan
besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak
ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad
pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau
ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad
modern sekarang ini).
·
Pola
hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa
lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi,
sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde
sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah
jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan
publik.
·
Sejauh
ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan
opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat
negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak
lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
·
Tapi
apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan
sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat
dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam
sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah
atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya.
“Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (Q: Al
Baqarah/176).
·
Tapi
memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam
menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya
karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba
mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata
hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk
memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
·
Sementara
itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun
terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik
(negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme
adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam
kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah
privat, negara untuk wilayah publik.
***
·
Mencoba
memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat
membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam
konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas
lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja
di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih
gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
·
Bukan
tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu
terdesentrali¬sasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada
organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau
bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada
satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan
dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas
agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara.
·
Kedua,
dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum
otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu
itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik
maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama
telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani
dan buruh yang tertindas.
·
Jujur
saja, dosa-dosa agama (gereja) yang terjadi di Barat tersebut juga terdapat
dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal penting yang membedakan. Dalam Islam,
seperti dikatakan di atas, tidak ada otoritas tunggal yang telah memainkan dosa
dosa itu secara utuh dan terpusat. Pada saat seba¬gian ulama Islam berkolusi
dengan penguasa, mayoritas ulama tetap setia hidup di tengah tengah dan bersama
rakyat. Di antara mereka ada yang sekadar apatis (uzlah) dari politik
kekuasaan, sebagian terus melancarkan kritik, bahkan beberapa dengan tinda¬kan,
gerakan.
·
Ketiga,
dalam konteks kelahiran negara modern, ada juga fakta yang tidak boleh
dilupakan. Di Barat negara modern lahir dari atau bebarengan dengan gerakan
pemakzulan terhadap otoritas agama (gereja). Di Timur, di dunia Islam
termasuk Indone¬sia, negara modern lahir justru dari semangat heroisme
keagamaan (kesyahidan) untuk memerdekaan bangsanya dari tirani penjajahan,
yang nota bene adalah Barat.
·
Itulah
sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia
Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan
dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan
mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita
kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu
bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan
agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
·
Dengan
demikian, mematrik negara hanya dalam kolom sekularis atau teokratis, kiranya
terlalu menyederhanakan masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam, hubungan
agama negara terlalu komopleks untuk dilihat secara hitam putih begitu saja.
Disamping karena faktor kesejarahan yang berbeda dengan Barat, dalam konteks
ajaran (normatif) mengkotakkan agama hanya pada ruang privat dan negara pada
urusan publik juga mengandung mafsadah tersendiri.
·
Bahkan
di Barat pun sekularisme yang secara ketat memenjarakan agama di ruang privat
sudah dikritik. Sikap cuci tangan agama terhadap derita kemanusiaan yang
terjadi di ruang publik akibat kesewenang-wenangan negara (state) secara moral
jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Telah muncul opsi baru yang oleh Jose
Casanova disebut deprivatisasi agama. Gerakan teologi pembebasan di Amerika
Latin maupun Political Theology di Eropa bagaimana pun merupakan refleksi dari
kritik tersebut.
***
·
Jika
di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam?
Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa
tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.
·
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan
(akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan
keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang
diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin
bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara
bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya
kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
·
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti
soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya).
Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al
syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk,
misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi
negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari
raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu
segera diakhiri.
·
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya
ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan
siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran
kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum
agama terhadap hukum negara.
·
Tidak
bisa dikatakan bahwa dalam negara kebangsaan hukum agama haram ikut
memperkaya bangunan hukum publik dari negara yang bersangkutan. Jangankah hukum
agama yang dianut oleh masyarakat di negeri itu; hukum warisan penjajah yang
telah memeras kita ratusan tahun dan kita usir dengan darah para syuhada pun
bisa diusung menjadi hukum di negeri kita.
·
Akan
tetapi kita semua harus menyadari bahwa sesuci dan sekuat apa pun
tawaran-tawaran hukum (syariat) keagamaan tersebut tidak dapat diberlakukan
begitu saja sebagai hukum positif. Dalam konteks negara kebangsaan hukum agama,
termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah
(row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang
dicomot dari bangsa lain.
·
Untuk
bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi
dua syarat. Pertama, syarat substansial menyangkut isi hukum yang harus
beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
Kedua, syarat prosedural artinya hukum itu dapat meyakinkan nalar publik
untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga
disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak
mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak
terkecuali hukum yang berbasis agama.
·
Bahkan
untuk negara modern yang kini telah menjadi semakin repressif, koruptif,
ekploitatif dan tidak perduli dengan nasib masyarakat lemah, maka kontribusi
agama-agama dengan kekayaan nilai-nilai etik dan moralnya sangatlah diperlukan.
Kita butuh sekali kontribusi etika sosial Kristiani dengan basis kasih-nya
terutama bagi mereka yang terpinggirkan. Kita butuh sentuhan etika Hinduisme
dengan semangat ahimsa (non-violence)-nya; etika Budhis dengan etos
kesederhanaannya; dan etika Islam dengan spirit keadilan-nya. Juga dari
agama-agama lain
·
Oleh
sebab itu, tidak ada manfaat apa pun bagi umat Islam untuk meributkan nasib 7
kata yang terbuang, kecuali sekedar untuk trik-trik politik belaka. Jika memang
sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kepada negara yakinkanlah nalar
publik bangsa ini bahwa syariat agama yang mereka yakini dapat lebih menjamin
pemenuhan hak dan kemaslahatan rakyat banyak, apa pun agama, suku, etniknya;
bukan hanya untuk kepentingan kelompok sendiri semata. *
Masdar F. Mas’udi
Katib Syuriah PBNU
Katib Syuriah PBNU
RELASI AGAMA DAN NEGARA
Hubungan Agama dan Negara
·
Para
sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan
Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga
paradigma pemikiran :
·
1.
Paradigma Intergralistik
Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di "Tangan Tuhan".
Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di "Tangan Tuhan".
·
2.
Paradigma Simbiotik
Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembanga. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembanga. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
·
3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.
Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting. Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan, bukan hubungan keagamaan. Apabila negara diatur oleh konstitusi Islam, yang bersemangat ditentang oleh al-Ashmawy ketika Presiden Anwar Sadat menimbang proposal konstitusi Islam tersebut pada akhir 1970-an, maka itu berarti pencampakkan status non-Muslim menajdi warga negara kelas dua. Sejak tahun 1977, Mesir melarang pembentukan partai politik apa pun dengan landasan agama.
Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.
Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting. Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan, bukan hubungan keagamaan. Apabila negara diatur oleh konstitusi Islam, yang bersemangat ditentang oleh al-Ashmawy ketika Presiden Anwar Sadat menimbang proposal konstitusi Islam tersebut pada akhir 1970-an, maka itu berarti pencampakkan status non-Muslim menajdi warga negara kelas dua. Sejak tahun 1977, Mesir melarang pembentukan partai politik apa pun dengan landasan agama.
·
Menurut
Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam
dengan negara, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi
konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali menghilangkan
kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan
kenegaraan. Sedangkan responsi fakultatif, jika kekuatan mereka cukup besar di
parlemen, kaum muslimin atau gerakan Islam, akan berusaha membuat peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan responsi
konfrontatif adalah sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap
"tidak Islami".
·
Kesimpulan
bahwa negara/imperium Islam menjadi negara sekuler adalah tidak dapat
dibenarkan dan merupakan salah-urus. Sekularisasi itu sebuah istilah modern
untuk menyatakan pemisahan agama dan negara. Konsep ini tidak mencerminkan
realitas politik. Sepanjang sejarah Islam, legitimasi penguasa itu dan
cetak-biru yang ideal bagi negara, baikpun berbentuk khalifah, maupun imamah
ataupun sulthaniyah, tetap secara resmi mengikuti hukum Islam sebagai basis
negara dan mesyarakat.
Hubungan
Agama dan Negara Di Turki
·
Kata "Turk" hanya berarti sebagai
warga petani, nomad, atau sebagai warga pendalaman yang dungu (bumpkin)-
masyarakat yang tidak berpendidikan Abdullah jawet (1869-1932) menyampaikan
landasan nasional Turki. Pada tahun 1918 imperium Usmani hancur, namun elite
birokratik dan militer telah siap mengubah komitmen mereka dari sebuah rezim
multi-nasional dan multi relegius menjadi sebuah negara nasional Turki dan
sekuler. Seusai perang dunia I Mustafa Kemal berusaha mewujudkan
prinsip-prinsip generasi Turki Muda. Mustafa Kemal, elite nasional berhasil
memobilisir massa Turki untuk berjuang penduduk asing dan mendukung ide
kebangsaan. Mustafa Kemal mengorganisir perjuangan Defense of Raights of
Anatoli and Rumania (Gerakan perjuangan hak-hak Anatoli dan Rumania),
mendirikan Grand National Assembly (majelis Nasional Agung) di Ankara (1920),
memberlakukan konstitusi baru (1921), dan mendirikan rezim republik atas
sebagian besar wilayah Anatoli.
Sejarah Turki modern dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fase. Periode antara 1921 dan 1950 merupakan fase kediktatoran presidensial, reformasi agama, dan tahap awal program industrialisasi. Dari tahun 1950 sampai masa sekarang merupakan fase sistem politik multi-partai, fase berkembangnya diferensiasi sosial, fase perubahan ekonomi pesat, fase berkecamuknya konflik idielogis.
Pada dekade 1920 dan 1930-an, rezim Mustafa Kemal Ataturk mengagendakan revormasi kultural. Seperti, menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam, kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923, khilafah dihapuskan pada tahun 1924. lembaga wakaf dan lembaga ulama’ dikuasakan pada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab hukum swiss. Undang-undang keluarga tahun 1916 dan 1917 mengakhiri undang-undang syari’ah, mempersulit poligami dan memberikan izin kepada wanita mengajukan perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan UU keluarga tahun 1924 mengharamkan poligami, menjadikan suami dan isteri berkedudukan sama dalam perceraian. Pada tahun 1935 beberapa perwakilan wanita terpilih dalam parlemen Turki. Demikianlah, Islam "dilepaskan" dan diasingkan perannyadalam kehidupan masyarakat dan simbol-simbol ketergantungan bangsa turki terhadap kultur tradisionalis digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberap identitas modern.
Fase kedua,pada tahun 1946, pemerintah Inonu mengizinkan pembentukan Democrat Party (Partai Demokrat). Partai demokrat berjuang membatasi intevensi negara dalam perekonomian dan menghapuskan berbagai pembatasan dalam praktek keagamaan Islam. Pemilihan nasional tahun 1950 mengundang konflik antar rezim otoriter dan sekuler, dan tuntutan propinsial terhadap sebuah pemerintahan liberal yang toleran terhadap Islam.
Isu keislaman di Turki haruslah dipahami kaitannya dengan perubahan sosial dan persaingan politik yang bersifat pruralistik. Di dalam negara Turki kontemporer, tradisi ulama perkotaan sebagian besar telah hancur dan tidak lagi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ideologi republik adalahsekuler sementara kalanmgan atasan komitmen terhadap ideologi sekuler tersebut. Aspek kebangkitan Islam di Turki diwakili oleh The National Salvation Party (1960), partai ini bermaksud mendirikan sebuah negara Islam di Turki. Tapi The National Salvation Party pada pemilihan 1970-an meraih prosentase suara dalam jumlah kecil. Kebangkitan Islam di Turki hanyalah sebagian dari perkembangan sejumlah ideologis, seperti sosialis, kapitalisme, komunisme dan lain sebagainya. Isu sekularisme versus Islam hanyalah satu di antara sejumlah isu lainnya yang berkembang di tengah masyarakat Turki yang telah menjalani proses modernisasi.
Pada abad dua puluh perubahan ekonomi dan sosial Turki mengantarkan pada perkembangan sebuah masyarakat nasional yang sangat pruralistik, dan sekuler di mana Islam melanjutkan peran keagamaan yang sangat menonjol bagi sebagian besar warga Turki, tetapi peran tersebut berlangsung di luar kehidupan yang bersifat publik.
Sejarah Turki modern dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fase. Periode antara 1921 dan 1950 merupakan fase kediktatoran presidensial, reformasi agama, dan tahap awal program industrialisasi. Dari tahun 1950 sampai masa sekarang merupakan fase sistem politik multi-partai, fase berkembangnya diferensiasi sosial, fase perubahan ekonomi pesat, fase berkecamuknya konflik idielogis.
Pada dekade 1920 dan 1930-an, rezim Mustafa Kemal Ataturk mengagendakan revormasi kultural. Seperti, menghapuskan sejumlah lembaga organisasi Islam, kesultanan Usmani dihapuskan pada tahun 1923, khilafah dihapuskan pada tahun 1924. lembaga wakaf dan lembaga ulama’ dikuasakan pada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Dalam rentangan abad ini diberlakukan kitab hukum keluarga yang didasarkan pada kitab hukum swiss. Undang-undang keluarga tahun 1916 dan 1917 mengakhiri undang-undang syari’ah, mempersulit poligami dan memberikan izin kepada wanita mengajukan perceraian dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan UU keluarga tahun 1924 mengharamkan poligami, menjadikan suami dan isteri berkedudukan sama dalam perceraian. Pada tahun 1935 beberapa perwakilan wanita terpilih dalam parlemen Turki. Demikianlah, Islam "dilepaskan" dan diasingkan perannyadalam kehidupan masyarakat dan simbol-simbol ketergantungan bangsa turki terhadap kultur tradisionalis digantikan dengan sistem hukum, kebahasaan, dan beberap identitas modern.
Fase kedua,pada tahun 1946, pemerintah Inonu mengizinkan pembentukan Democrat Party (Partai Demokrat). Partai demokrat berjuang membatasi intevensi negara dalam perekonomian dan menghapuskan berbagai pembatasan dalam praktek keagamaan Islam. Pemilihan nasional tahun 1950 mengundang konflik antar rezim otoriter dan sekuler, dan tuntutan propinsial terhadap sebuah pemerintahan liberal yang toleran terhadap Islam.
Isu keislaman di Turki haruslah dipahami kaitannya dengan perubahan sosial dan persaingan politik yang bersifat pruralistik. Di dalam negara Turki kontemporer, tradisi ulama perkotaan sebagian besar telah hancur dan tidak lagi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Ideologi republik adalahsekuler sementara kalanmgan atasan komitmen terhadap ideologi sekuler tersebut. Aspek kebangkitan Islam di Turki diwakili oleh The National Salvation Party (1960), partai ini bermaksud mendirikan sebuah negara Islam di Turki. Tapi The National Salvation Party pada pemilihan 1970-an meraih prosentase suara dalam jumlah kecil. Kebangkitan Islam di Turki hanyalah sebagian dari perkembangan sejumlah ideologis, seperti sosialis, kapitalisme, komunisme dan lain sebagainya. Isu sekularisme versus Islam hanyalah satu di antara sejumlah isu lainnya yang berkembang di tengah masyarakat Turki yang telah menjalani proses modernisasi.
Pada abad dua puluh perubahan ekonomi dan sosial Turki mengantarkan pada perkembangan sebuah masyarakat nasional yang sangat pruralistik, dan sekuler di mana Islam melanjutkan peran keagamaan yang sangat menonjol bagi sebagian besar warga Turki, tetapi peran tersebut berlangsung di luar kehidupan yang bersifat publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar